Rabu, 11 Januari 2012

finalku

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah terlepas dari berbagi masalah. Masalah yang menimpa manusia terkadang membuat manusia menjadi frustrasi, tak berdaya, nelangsa dan putus asa. Bahkan tak jarang orang yang begitu banyak diterpa berbagai masalah hidup lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena tak kuasa menghadapi masalah tersebut. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya pengetahuan, ilmu, serta pengalaman dalam mengahapi masalah. Oleh sebab itu manusia harus mendapat bimbingan agar mampu membantu keluar dari masalah yang sedang dihadapinya.
Untuk lebih memahami apakah ‘bimbingan’ itu, maka alangkah lebih baiknya jika kita mengulas tentang pengertian bimbingan dari berbagai sisi yaitu dilihat dari segi bahasa serta dilihat dari segi istilah (pendapat para ahli). Bimbingan secara bahasa dapat berarti sebagai berikut :
  • menunjukkan
  • menentukan
  • mengatur
  • mengemudikan
  • memimpin
  • mengadakan
  • mengistruksikan
  • memberi saran
  • mengatur
Berdasarkan uraian tersebut diatas mengenai pengetian bimbingan secara bahasan dan secara istilah menurut pemikiran para ahli serta beberapa kata kunci yang didapat, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan suatu proses bantuan secara sistematis, terorganisir, dan berkesinambungan yang diberikan kepada seseorang, kelompok atau masyarakat agar bisa membuat keputusan, memecahkan masalah, dan bisa memahami diri dan lingkungannya sehingga dapat menyesuaikan diri dimana pun ia berada serta dapat mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya

Djumhur dan Moh. Surya, (1975:15) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang
terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai
kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance),
kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization)
sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga,
sekolah dan masyarakat.

Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling

Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah:
  • Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
  • Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya.
  • Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex)
  • Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
  • Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
  • Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
  • Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
  • Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
  • Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
  • Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
  • Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli

Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
  1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
  2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
  3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
  4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
  5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
  6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
  1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
  2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
  3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
  4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
  5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
  6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
  7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
  8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
  9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
  10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
  11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

 tujuan bk
1. memfasilitasi perkembgan prilaku
2. meningkatkan keterampilan memecahkan masalah
3. kemampuan mengambil keputusan
4. memperbaiki hubungan
5.pengembangan potensi klien






Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. 


 PSIKOANALISIS
Kenalilah dirimu…! Motto ini telah mengusik para filusuf untuk mencoba memahami dirinya
Di sisi lain, menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik.
Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.
Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah. Dan struktur kepribadian Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari  id, ego dan superego.
 Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.


behaviorisme 
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dalam konsep bahvioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.
iri-ciri konseling behavioral sebagai berikut: a. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah. b. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedurprosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan. c. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling. d. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konseling. e. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.

Peranan terapis dalam konseling ini adalah : a. Mengaplikasikan prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif. b. Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran klien, dengan membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum
peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku tidak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang diprogram yang memaksakan teknik-teknik kepada para klien yang mirip robot. Bagaimanapun, tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada variabel-variabel hubungan terapis klien. Sekalipun demikian, sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalah kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik. 



centered therapy 

Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Terapi berpusat pada klien (Client Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktik pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesific. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini. Tulisan ini akan berusaha menjelaskan tentang latarbelakang historis terapi client centered, beberapa asumsi dasar, prinsip, tujuan dan teknik serta proses terapi client centered.

Latar Belakang Historis Terapi Client Centered
  • Terapi Client Centered dipelopori oleh Carl R . Rogers sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya sebagai keterbatasan-keterbatasan mendasart dari psikoanalisis;
  • Pada hakikatnya pendekatan Client Centered merupakan cabang khusu dari terapi Humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut duni subjektif dan fenomenalnya;
2. Beberapa Asumsi Dasar Terapi Client Centered
  • Individu memiliki kapasitas untuk membimbing, mengatur, mengarahkan, dan mengendalikan dirinya sendiri apabila ia diberikan kondisi tertentu yang mendukung
  • Individu memiliki potensi untuk memahami apa yang terjadi dalam hidupnya yang terkait dengan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan.
  • Individu memiliki potensi untuk mengatur ulang dirinya sedemikian rupa sehingga tidak hanya untuk menghilangkan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan diri dan mencapai kebahagiaan.
3. Prinsip-Prinsip dalam Terapi Client Centered
  • Kita berperilaku sesuai dengan persepsi kita terhadap realitas. Berkaitan dengan hal ini, untuk memahami masalah klien, maka kita harus benar-benar memahami bagaimana ia mempersepsikannya.
  • Kita termotivasi oleh dorongan primer bawaan lahir yang berupa dorongan untuk mengaktualisasikan diri. Secara otomatis individu akan mengembangkan potensinya dalam kondisi-kondisi yang mendukung. Kondisi-kondisi ini dapat diciptakan dalam terapi dan oleh karena itu, terapis harus bersikap nondirektif.
  • Individu memiliki kebutuhan dasar akan cinta dan penerimaan. Dalam terapi, hal ini diterjemahkan sebagai adanya kebutuhan untuk fokus pada hubungan (antara terapis dan klien-red) dan pengkomunikasian empati, sikap menghargai, dan ketulusan dari terapis.
  • Konsep diri individu bergantung pada penerimaan dan penghargaan yang ia terima dari orang lain. Konsep diri klien dapat ia ubah apabila ia mengalami penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam terapi.


analisis transaksional
Analisis transaksional sebenarnya ber­tujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-­siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).
Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orangtua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua).
           Sikap orangtua yang diwakili dalam perilaku dapat ter1ihat dan terdengar dari tindakan maupun tutur kata ataupun ucapan-ucapan­nya. Seperti tindakan menasihati orang lain, memberikan hiburan, menguatkan perasaan, memberikan pertimbangan, membantu, melindungi, mendorong untuk berbuat baik adalah sikap yang nurturing parent (NP). Sebaliknya ada pula sikap orang tua yang suka menghardik, membentuk, menghukum, berprasangka, me­larang, semuanya disebut dengan sikap yang critical parent (CP).
Setiap orang juga menurut Berne memiliki sikap orang dewasa. Sikap orang dewasa umumnya pragmatis dan realitas. Mengambil kesimpulan, keputusan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Suka bertanya, mencari atau menunjukkan fakta-fakta, ber­sifat rasional dan tidak emosional, bersifat objektif dan sebagainya.
Sikap lain yang dimiliki juga adalah sikap anak-anak. Dibedakan antara natural child (NC) yang ditunjukkan dalam sikap ingin tahu, berkhayal, kreatif, memberontak. Sebaliknya yang ber­sifat adapted child (AC) adalah mengeluh, ngambek, suka pamer, dan bermanja diri.
Ketiga sikap itu ibarat rekaman yang selalu diputar-putar bagai piringan hitam dan terus bernyanyi berulang-ulang di saat di­kehendaki dan dimungkinkan. Karenanya maka sering anda ber­kata : si Pulan sangat dewasa; si Iteung kekanak-kanakan; atau si Ucok sok tua, mengajari/menggurui.
Berne juga mengajukan rekomendasinya untuk posisi dasar seseorang jika berkomunikasi antarpribadi secara efektif dengan orang lain. Ada empat posisi yaitu :
1.      Saya OK, kamu OK (I’m OK., you’re OK)
2.      Saya OK, kamu tidak OK (I’m OK, you’re not OK)
3.      Saya tidak OK, kamu OK (I’m not OK, yo/ire OK)
4.   Saya tidak OK, kamu tidak OK (I’m not OK, you’re not OK).


reality therapy

Terapi realitas adalah sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapi realitas bertitik tolak pada paham dasar bahwa manusia memilih perilakunya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab, bukan hanya pada apa yang ia lakukan, tetapi juga pada apa yang ia pikirkan. Maka terapi realitas bertujuan untuk memberi kemungkinan dan kesempatan kepada klien agar ia dapat mengembangkan kekuatan psikisnya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya itu tak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu dikembangkan perilaku baru yang lebih efektif.
Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan. Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun. Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.



gestalt terapi
erapi Gestalt dikembangkan oleh Frederick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. Asumsi dasar terapi gestalt adalah bahwa individu mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara efektif. Tugas utama terapis adalah membantu klien agar mengalami sepenuhnya keberadaanya di sini dan sekarang dengan menyadarkannya atas tindakannya mencegah diri sendiri merasakan dan mengalami masa sekarang.

Pandangan Gestalt adalah bahwa individu memilki kesanggupan memikul tanggung jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu. Disebabkan oleh masalah-masalah tertentu dalam perkembangannya, individu membentuk berbagai cara menghindari masalah, dan karenanya menemui jalan buntu dalam pertumbuhan pribadinya.
Terapi Gestalt dikembangkan oleh Frederick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu –individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka mengharap kematangan. Karena bekerja terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada “apa “ dan “ bagaimana”-nya tingkahlaku dan pengalaman di sini- dan – sekarang 


Psikoterapi Rational Emotive therapy

Menurut pendekatan teori ini, manusia memiliki tiga potensi pokok, yaitu: (a) Potensi berpikir, baik yang rasional maupun tidak rasional, (b)Kecenderungan untuk menjaga kelangsungan keadaan dirinya, keberadaanya, kebahagiaan, kesempatan memikirkan dan mengungkapkanya dengan kata – kata, mencintai, berkomunikasi dengan orang lain, serta terjadinya pertumbuhan dan aktualisasi diri, (c) Memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu, menunda – nunda, berulang – ulang melakukan kekeliruan, percaya pada tahayul, tidak memiliki tenggang rasa, menjadi perfeksionis, menyalahkan diri sendiri, dan menghindari adanya aktualisasi potensi pertumbuhan yang dimilikinya.
Pada hakikatnya teori ini mendorong manusia untuk mau menerima dirinya sebagai mahluk yang memiliki sisi negatif (selalu membuat kesalahan) dan sisi positif (belajar hidup damai dengan dirinya sendiri).
Masalah atau gangguan emosional berasal dari (a) kita mempelajari keyakinan yang tidak rasional adalah dari orang lain yang signifikan pada masa kanak – kanak, (b) Kita sendiri yang menciptakan dogma dan takhayul (superstision) yang tidak rasional itu, kemudian (c) secara aktif kita menanamkan kembali keyakinan keliru itu dengan jalan memproses sugesti pada diri sendiri (self repetition).
Jadi disfungsional terjadi karena sebagian besar pergaulan yang kita buat sendiri terhadap pikiran yang tidak rasional yang diindoktrinasikan kepada kita dulu yang memberikan tuntutan kepada kita agar dunia ini seharusnya, seyogyanya, dan harus berbeda.

Ellis menggambarkan hakikat masalah ini dengan konsep berikut:
A (Activing event) B (Believe) C(emotional and behavioral consequence)

-A adalah keberadaan fakta, suatu peristiwa, atau perilaku atau sikap seorang individu
-B adalah Keyakinan si pribadi (A), pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa.
-C adalah Konsekuensi emosi dan perilaku ataupun reaksi si individu; reaksi tersebut bisa cocok atau tidak.

Dalam konsep ini peristiwa yang sedang terjadi pada (A) tidak menjadi penyebab pada (C/konsekuensi emosi), melainkan (B/keyakinan si pribadi pada A) yang menjadi penyebabnya. Misalnya, apabila seorang mengalami depresi setelah bercerai dengan suami / istrinya, mungkin bukan perceraian (A) itu sendiri yang menjadi penyebab reaksi dalam bentuk depresi, tetapi keyakinan si individu (B) bahwa ia gagal, merasa di tolak, atau kehilangan pasangan yang menjadi penyebabnya.

Pendekatan yang Dilakukan
Pendekatan yang dilakukan adalah melakukan disputing intervention (meragukan/ membantah) (D) terhadap keyakinan dan pemikiran yang tidak rasional pada (B) agar berubah pada keyakinan , pemikiran dan falsafah rasional yang baru (E), sehingga lahir (F) yaitu perangkat perasaan yang baru, dengan demikian kita tidak akan merasa tertekan, melainkan kita akan merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.

Teori pendekatan DEF dari ellis jika digambarkan dalam bentuk bagan adalah demikian:
D (disputing intervention) E (effect) F (new Feeling)
- D adalah yang meragukan atau membantah. Pada isensinya merupakan aplikasi dari metode ilimiah untuk menolong klien membantah keyakinan irasional. Ellis dan Bernard (1986) melukiskan tiga komponen dari proses membantah ini:
Pertama: klien belajar cara mendeteksi keyakinan irasional mereka, terutama kemutlakan seharusnya dan harus, sifat berlebihan, dan pelecehan pada diri sendiri.
Kedua: klien memperdebatkan keyakinan yang disfungsional itu dengan belajar cara mempertanyakan semua itu secara logis dan empiris dan dengan sekuat tenaga mempertanyakan kepada diri sendiri serta berbuat untuk tidak mempercayainya.
Ketiga: klien belajar untuk mendiskriminasikan keyakinan yang irasional an rasional.
- E adalah falsafah efektif, yang memiliki segi praktis. Falsafah rasional yang baru dan efektif terdiri dari menggantikan yang tidak pada tempatnya dengan yang cocok. Apabila itu berhasil maka akan tercipta F atau new feeling
- F adalah perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh, melainkan kita mengalami segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.

Pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang terbelenggu oleh ide tidak rasionalnya dan suka menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Menurut teori ini bahwa menyalahkan adalah merupakan inti dari sebagian gangguan emosional.



Tidak ada komentar: